POLRI VS KPK

Meredam Perseteruan Polri-KPK

Kamis, 11 Oktober 2012 00:00

 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Gatra/Ardi Widi Yansah)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan meredam konflik KPK- Polri. Disinyalir ada yang menunggangi kisruh KPK-Polri dengan membuat situasi makin panas, dalam rangka pembusukan terhadap Kapolri sampai terjadi suksesi. — 

Suka tak suka, legowo atau tidak, Polri harus menerima kenyataan ini: pengusutan kasus korupsi simulator SIM, yang diperebutkan dengan segenap daya oleh ”korps baju cokelat”, akhirnya diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitu pula upaya penegakan hukum terhadap penyidik KPK, Komisaris Polisi Novel Baswedan, harus dipertimbangkan lagi karena waktu dan cara penanganannya dinilai tidak tepat.

Perkembangan anyar yang mau tak mau sedikit menyodok Polri dan agak melegakan KPK ini disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Senin malam lalu. Menurut presiden, kasus simulator SIM yang melibatkan Djoko Susilo dan tersangka lain lebih tepat ditangani KPK. ”Jika penyidikannya nanti cukup bukti untuk dilanjutkan ke pengadilan, tentu sejumlah pejabat yang terlibat dalam korupsi itu akan dituntut bersama-sama,” kata Presiden Yudhoyono.

Terkait upaya proses hukum oleh Polri terhadap Novel Baswedan, presiden mengatakan bahwa timing-nya tidak tepat, pendekatan dan caranya pun tidak tepat karena kasus itu terjadi delapan tahun silam.Diingatkannya, proses penegakan hukum harus berangkat dari niat baik dan tetap merujuk pada kebenaran, keadilan, dan undang-undang. ”Jangan ada motivasi lain. Misalnya, karena anggota Polri bersangkutan sedang melaksanakan tugas melakukan penyidikan kasus pengadaan simulator SIM,” ucap presiden.

Dalam pidatonya yang diapresiasi banyak kalangan itu, presiden juga menyampaikan tiga hal lain. Pertama, menyangkut perlunya peraturan pemerintah baru terkait perselisihan penempatan perwira Polri di KPK. Kedua, rencana melakukan revisi Undang-Undang (UU) KKP kurang tepat dilakukan saat ini. Lebih baik meningkatkan sinergi antara lembaga penegak hukum dan intensitas pemberantasan korupsi. Ketiga, KPK dan Polri agar memperbarui nota kesepahaman (MoU) serta meningkatkan sinergi dan koordinasi, sehingga masalah semacam ini tidak terulang.

Pidato presiden yang diakhiri dengan lima butir kesimpulan itu memang dimaksudkan untuk meredam perseteruan antara KPK dan Polri, terkait dualisme pengusutan kasus korupsi simulator SIM. Maklumlah, tensi perseteruan antara dua institusi penegak hukum yang sering dipelesetkan sebagai kasus ”cicak-buaya jilid II” itu kian meningkat. Bahkan, Jumat sore pekan lalu, seperti dilaporkan Edmiraldo Siregar dari GATRA, serombongan polisi berpakaian dinas dan preman mendatangi Gedung KPK di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

”Dari informasi yang kami terima, setidaknya ada dua kompi polisi di sekitar KPK. Semoga mereka datang untuk melindungi KPK,” ujar Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Ternyata rombongan polisi yang dipimpin Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Bengkulu, Komisaris Besar Dedy Irianto, itu justru hendak melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan. Tuduhannya, pelanggaran Pasal 351 ayat (2) dan (3) KUHP (penganiayaan yang menyebabkan luka berat dan kematian).

Upaya penangkapan dan penggeledahan oleh tim dari Polda Bengkulu yang didampingi tim dari Polda Metro Jaya itu tidak berhasil. Soalnya, saat itu pimpinan KPK tidak berada di tempat. Rombongan polisi itu sempat bertahan hingga malam hari. Kepada Pak Polisi, petugas KPK menawarkan dua opsi. Pertama, tim dari Polda Bengkulu itu membuat berita acara penolakan penangkapan atau datang kembali pada jam kerja sewajarnya. Beredar kabar, upaya penangkapan ini disusun para loyalis Djoko Susilo, si jenderal tajir. Tapi rumor ini dibantah Polri.

Novel Baswedan memang luput dari ”jemputan” polisi. Tapi upaya polisi hendak menangkap penyidik KPK andal itu serta-merta mengundang kehebohan. Berbagai elemen masyarakat, tokoh kampus, bahkan anggota dewan dan pejabat pemerintahan, berbondong-bondong datang ke KPK. Mereka memberikan dukungan kepada lembaga antikorupsi itu, sekaligus mengecam Polri yang dinilai melakukan kriminalisasi terhadap anggota KPK.

Tudingan kriminalisasi ini mungkin tak terlalu berlebihan. Pasalnya, upaya penangkapan terhadap Novel Baswedan, yang merupakan ketua tim penyidik kasus korupsi simulator SIM, dilakukan hanya beberapa jam setelah KPK memeriksa Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo sebagai tersangka kasus simulator SIM. Lebih-lebih, kasus penembakan terhadap enam tersangka pencuri sarang walet di Bengkulu itu terjadi delapan tahun silam.

Dedy Irianto menyebut Novel sebagai tersangka pelakunya, yang mengakibatkan satu korban tewas dan lima orang mengalami luka tembak. Ia mengatakan pula bahwa kasus lama yang terjadi pada saat Novel menjabat sebagai Kasat Reskrim Kepolisian Resor (Polres) Bengkulu itu dibuka kembali karena ada pengaduan korban penembakan tersebut ke polisi. Tapi pihak korban membantah keterangan polisi ini. Mereka juga mengatakan, Novel tidak terlibat langsung dalam penembakan itu.

Menilik kondisi ini, mau tak mau muncul kesan kuat bahwa upaya penangkapan terhadap Novel Baswedan itu, tidak bisa tidak, terkait erat dengan pergerakan KPK yang agak maju dalam mengusut kasus korupsi simulator SIM senilai Rp 196,87 milyar tersebut. Yakni mulai memeriksa tersangka Irjen Djoko Susilo setelah dinyatakan sebagai tersangka pada 27 Juli lalu.

Sebelumnya ada kesan bahwa pengusutan kasus korupsi yang melibatkan petinggi Polri itu tersendat. Maklum, polisi sepertinya tak rela kalau kasus itu ditangani sepenuhnya oleh KPK. Sejak awal, polisi ikut campur mengusut kasus yang banyak melibatkan oknum polisi tersebut. Konon pula, beberapa hari setelah penggeledahan di Markas Korlantas Polri oleh KPK, sejumlah perwira menengah minta diizinkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk mengacak-acak Gedung KPK.

Sejumlah saksi dari kepolisian sempat menolak pemeriksaan KPK, dengan alasan nama dan pangkat dalam pemanggilan itu tidak tepat. Irjen Djoko Susilo juga mangkir pada pemanggilan pertama KPK, dengan alasan masih mempertanyakan kewenangan KPK, mengingat kasus itu juga disidik Polri. Sempat menyeruak kesan, Polri berusaha melokalisasi kasus itu agar tak merembet ke petinggi Polri lainnya. Mabes Polri sudah membantahnya dan menyatakan bahwa Polri tidak akan melindungi anggotanya yang terlibat kasus pidana, termasuk kasus korupsi simulator SIM.

Tapi, lagi-lagi, kesan kuat yang muncul, polisi ingin tetap cawe-cawe, bahkan mencoba ”mengganggu” KPK dengan tiba-tiba hendak menangkap Novel Baswedan. Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menyesalkan tindakan polisi itu karena tidak sesuai dengan standar operasional prosedur Polri. Akhiar pun mempertanyakan: ”Apa ini murni datang begitu saja atau ada kaitannya dengan proses penyidikan kasus simulator SIM oleh KPK,” ujarnya kepada wartawan GATRA Sujud Dwi Pratisto.

Koordinator Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko, tegas mengatakan, ”Kasus Novel Baswedan itu terkesan dicari-cari polisi.” Ia mencermati hal itu sebagai sinyal untuk berusaha membungkam KPK agar kasus simulator SIM tidak merembet ke petinggi Polri lainnya. Danang mencermati pula bahwa Polri sudah mengikhlaskan Djoko Susilo, yang kabarnya tidak akan “bernyanyi” macam-macam, untuk ditangani KPK.

”Yang dikhawatirkan (oleh polisi), Novel bersama penyidik KPK lainnya bisa saja membidik perwira tinggi di atas Djoko Susilo,” Danang menambahkan. Yang juga dikhawatirkan Polri, kasus simulator SIM itu akan membongkar praktek korupsi di Korlantas, yang merupakan salah satu mesin uang Polri. Itulah sebabnya, kata Danang, Polri bernafsu meringkus Novel yang disebut-sebut berani memeriksa para seniornya, bahkan yang berpangkat jenderal sekalipun.

Menurut penelusuran Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, terkait konflik KPK-Polri, khususnya skenario penangkapan Novel Baswedan, ada tiga kubu di Polri yang punya kepentingan masing-masing. Pertama, kubu yang tidak setuju dengan cara-cara Polri meluruk ke KPK untuk menangkap Novel. Kubu kedua adalah kelompok yang diduga tersangkut kasus simulator SIM dan sedang berusaha menyelamatkan diri agar tidak diperiksa KPK.

Adapun kubu ketiga adalah kelompok yang menunggangi kisruh KPK-Polri dengan membuat situasi makin panas, dalam rangka pembusukan terhadap Kapolri sampai terjadi suksesi. Kelompok ketiga ini dilatarbelakangi perang bintang. ”Harapan mereka, Kapolri diganti oleh presiden dan kelompok merekalah yang diangkat menjadi Kapolri,” kata Neta S. Pane.

Syukurlah, kali ini upaya cawe-cawe Polri, apa pun motifnya, menjadi antiklimaks. Presiden Yudhoyono, setelah menyimak perkembangan perseteruan itu cukup lama, termasuk memperhatikan gelombang desakan masyarakat, akhirnya turun tangan meredam konflik KPK vs Polri. Dalam hal ini, peran dan sepak terjang Polri dibatasi. Sebagai atasan Kapolri, presiden tentu berhak melakukan itu, sejauh tidak melanggar hukum dan perundang-undangan. Ketegangan antara KPK dan Polri pun mereda, setidaknya yang tampak di permukaan.

***

Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Prof. Saldi Isra, menilai pidato Presiden Yudhoyono terkait konflik KPK vs Polri itu, terutama butir kesimpulan pertama dan kedua, harus dipatuhi dan dilaksakanakan sepenuhnya oleh Polri yang merupakan pembantu presiden. Tapi Saldi –yang juga ikut hadir memberikan dukungan di KPK, Jumat malam pekan lalu– masih meragukan tingkat kepatuhan Polri untuk dapat legowo menyerahkan sepenuhnya kasus simulator SIM kepada KPK.

Menurut Saldi, jika keraguannya ini terbukti, ia khawatir Polri akan makin sulit mendapat kepercayaan dari masyarakat. Saldi menyarankan agar Polri menyerahkan sepenuhnya kasus simulator SIM kepada KPK dan menjadikan pidato presiden itu sebagai momentum untuk membersihkan instusi kepolisian. ”Yang harus diselamatkan tidak hanya KPK, Polri pun harus kita selamatkan,” kata Saldi kepada Taufiqurroham dari GATRA.

Sayangnya, belum apa-apa, Polri sudah mengisyaratkan tidak akan menyerahkan kasus itu semuanya kepada KPK. Maklumlah, boleh jadi hal itu –menyerahkan sepenuhnya kasus simulator SIM kepada KPK– merupakan pukulan cukup berat bagi Polri. Kabarnya pula, sejumlah petinggi Polri agak nyesak dengan perintah presiden dalam pidatonya itu.

Memang Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan akan menindaklanjuti apa yang diperintahkan presiden itu. Namun Timur juga mengingatkan bahwa penanganan kasus simulator SIM tidak bisa serta-merta diserahkan kepada KPK. Pasalnya, penyidikan di kepolisian sudah berjalan dan telah masuk tahap evaluasi di Kejaksaan Agung. ”Itu yang harus dikoordinasikan, bagaimana take over-nya,” kata Timur kepada GATRA di Istana Negara.

Kadiv Humas Polri, Brigjen Suhardi Alius, menjelaskan kepada wartawan di Mabes Polri bahwa dari lima tersangka kasus simulator SIM yang ditangani Polri, hanya tiga tersangka yang akan diserahkan kepada KPK. Tiga tersangka versi Polri ini juga merupakan tersangka KPK. Mereka adalah Brigjen Didik Purnomo (Wakil Kepala Korlantas Polri), Budi Susanto (bos PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, pemenang tender proyek simulator SIM), dan Sukotjo S. Bambang (bos PT Inovasi Teknologi Indonesia, yang menjadi subkontraktor PT Citra Mandiri Metalindo).

Dua tersangka versi polisi lainnya, Ajun Komisaris Tedy Rusmawan, Ketua Pengadaan Simulator SIM, dan Komisaris Legimo, Bendahara Korlantas Polri, masih tetap ditangani Polri. ”Itu masih kami dalami. Semua pelanggaran akan dituntaskan, diproses hukum,” kata Suhardi kepada Jennar Kiansantang dari GATRA.
Kabar yang juga beredar, Polri menyerahkan penyidikan Djoko Susilo, Didik Purnomo, dan dua tersangka sipil kepada KPK dengan deal tertentu. Antara lain, agar pengusutan kasus simulator SIM hanya berhenti pada Djoko Susilo, tidak merembet ke petinggi di atasnya. Sinyalemen ini tentu masih harus dibuktikan kebenarannya.

Yang jelas, menurut Suhardi, penyerahan sebagian tersangka simulator SIM versi polisi kepada KPK itu merupakan wujud kepatuhan atas pidato presiden. ”Kami akan laksanakan (arahan presiden) sebaik-baiknya,” ujar Suhardi. Ia menegaskan bahwa Polri akan memberikan dukungan penuh kepada KPK dalam memberantas korupsi, termasuk yang melibatkan oknum polisi. ”Kami juga mau bersih-bersih, kok,” Suhardi menambahkan. Mudah-mudahan bukan sekadar janji manis.

(Taufik Alwie, Anthony, Deni Muliya Barus, dan Haris Firdaus)

Laporan Utama Majalah GATRA edisi 18/49, beredar Kamis 11 Oktober 2012

Tinggalkan komentar